Gowes Menysuri Flores: Tanjakan Lagi, Tanjakan Lagi... (#6)
Jumat, 9 Mei 2025 12:29 WIB
Apa boleh buat, ketidakberuntungan menyangkut kondisi medan dari jalan-jalan di Flores memang mesti ditelan bulat-bulat.
***
Mendekati Pantai Paga, sesaat selepas jalanan menurun, pada jarak sekitar empat kilometer ke pusat kecamatan di Kabupaten Sikka, Flores, itu, sudut kemiringan jalan mendadak membesar. Di depan, jalan tampak seperti punggung raksasa yang sedang bersimpuh. saya spontan meraih pemindah gigi belakang, hendak menurunkan rasionya dengan gigi depan agar pedal lebih ringan dikayuh, tapi sia-sia: sudah tidak tersisa lagi gigi rendah.
Apa boleh buat, ketidakberuntungan menyangkut kondisi medan dari jalan-jalan di Flores memang mesti ditelan bulat-bulat. Kaki jadi harus mengerahkan tenaga lebih kuat, kalau masih tersisa, untuk mendorong pedal. Di sepanjang rute yang kami lalui dari Labuan Bajo hingga paroki di Gereja St. Santa Maria Immaculata, Lekebai, Kecamatan Bhera, Kabupaten Sikka, dan tampaknya bakal begitu terus sampai Maumere, hampir tidak ada jalanan datar yang benar-benar panjang yang memungkinkan kami bersepeda dengan party pace atau "kecepatan mau ke pesta".
Keadaan menantang seperti itu sudah langsung kami alami begitu keluar dari Pelabuhan Wae Kelambu (Pelindo 3). Hanya beberapa puluh meter dari gerbang pelabuhan, dalam terpaan cahaya matahari menjelang tengah hari, dengan temperatur udara lebih kurang 33 derajat celsius, jalan menuju pusat kota Labuan Bajo sudah langsung menghamparkan medan pendakian yang terjal, lalu menurun dan mendaki lagi dan lagi.
"Aih, cakep," kata Yosep. Tentu saja dia berkelakar.
Purwanto Setiadi dan Yosep Suprayogi
Dalam keadaan terus-menerus seperti itu kami jadi terbiasa untuk tidak seketika lega begitu menemui jalan yang menurun. Kami sadar bahwa itu semacam gula-gula belaka--yang cuma manis sesaat. Dan saya jadi ingat celetukan di antara teman-teman bersepeda yang kebetulan juga eks teman-teman sekantor ini: "Di mana ada turunan, di situ pasti ada tanjakan."
Antisipasi mengenai kondisi jalan yang bisa terasa brutal buat kami sebetulnya sudah saya tetapkan di awal. Prinsipnya: kami tak punya tenaga atau keadaan fisik manusia super. Kami pun bukan atlet. Sebagai bagian dari golongan kaum berumur, kami sadar diri bahwa kemampuan sudah terbatas. Saya sendiri hanya pengguna sepeda sehari-hari yang kebetulan menyukai perjalanan jauh antarkota dengan menggunakan, apa lagi kalau bukan, sepeda.
Prinsip itu sudah biasa saya jadikan pegangan. Dengannya saya jadi tak selalu terikat target mau mencapai jarak seberapa jauh dalam sehari, atau bahkan seberapa lama mau berada di jalan per hari. Dan karena kami tak pernah sekali saja ikut ultra cycling event, saya juga tak terbiasa dengan batasan waktu atau cut off time--yang menyebabkan peserta terkena diskualifikasi kalau lewat dari waktu yang berlaku.
Di Flores, mengingat kondisi jalannya, prinsip tersebut jadi sangat berguna.
Selain itu, kami tidak punya tujuan mau membuktikan apa pun. Kami melakukan perjalanan semata-mata untuk menikmatinya, mengapresiasi pemandangan alam yang memanjakan mata dan menghirup udara segar yang tak ada di Jabodetabek, serta memperkaya pengalaman batin.
Karenanya, sejak meluncur dari Labuan Bajo, kondisi fisik dan medan dari jalan yang kami lalui bisa menentukan apakah kami akan terus mengayuh sepeda atau berhenti dulu untuk menata dan meredakan napas (dan detak jantung) yang memburu hingga melampaui batas maksimal untuk kami. Atau, ya, mendorong sepeda kalau perlu. Bisa juga kedua hal itu membuat kami memutuskan untuk menumpang angkutan umum atau menyewa mobil.
Di antara Lando dan Ruteng, karena ada bagian jalan yang rusak parah sepanjang lebih kurang 10 kilometer, kami memilih menumpang apa yang oleh masyarakat setempat disebut travel. Kami turun di Desa Cancar, satu lokasi persis setelah bagian jalan yang rusak terlewati, dan melanjutkan trip dengan bersepeda.
Begitu pula saat kami kemalaman dan kelelahan tiba di Ende setelah menempuh jarak 128 kilometer dari Bajawa. Karena perlu beristirahat cukup, sedangkan itinerary perjalanan harus tetap dituruti, kami menyewa taksi daring untuk menuju Kelimutu.
Dengan memanfaatkan opsi itu kami jadi bisa sampai di tujuan sesuai skedul. Jika ada yang bertanya mengapa harus begitu atau mempersoalkannya karena seharusnya trip ini adalah kegiatan bersepeda jarak jauh, jawabannya tiada lain kecuali kenapa tidak. Kesempitan, kata orang, tidak harus menghambat.
Kuncinya, yang memungkinkan hal itu: sepeda lipat. sebab untuk itulah kegunaan sepeda lipat, yang kami bawa dari Depok dan kami gunakan sejak turun dari kapal di Labuan Bajo. Kalau ada yang bangga dengan semboyan "small wheels, big adventures", kami senang dengan modifikasinya, yakni "small wheels, smart adventures".

...wartawan, penggemar musik, dan pengguna sepeda yang telah ke sana kemari tapi belum ke semua tempat.
4 Pengikut

Kala Kekuasaan Melindungi Dirinya Sendiri
2 jam lalu
Pertumbuhan Bukan Berhala
Selasa, 26 Agustus 2025 12:40 WIBArtikel Terpopuler